Minggu, 16 Desember 2012

Jalan Kaki Keliling Ho Chi Minh City #PartFour



Berdasarkan informasi yang gue peroleh dari orang gila setempat, fungsi Saigon Central Post Office selama ini adalah sebagai tempat mengirim surat, kartu pos, telegram, paket, dan wesel (ya iyalah! Masak buat ngandangin babi!).

Suasana Pagi di Ho Chi Minh City
Saigon Central Post Office atau yang dalam bahasa Vietnam disebut dengan Buu Dien Trung Tam Sai Gon masih sama seperti peninggalan kolonial yang lain di Ho Chi Minh City dan sebagaimana yang udah gue bilang, gaya arsitekturnya kental akan nuansa gothic Prancis. Makin elegan dengan jam dinding klasik di bagian tengah atas gerbang utama yang masih berfungsi dengan baik hingga saat ini.

Dibangun antara tahun 1886-1891, saat Vietnam menjadi bagian dari Prancis-Indochina. Saigon Central Post Office masih terawat dengan baik dan bersih, sehingga tidak heran jika menjadi salah satu daya tarik turis mancanegara maupun domestik.

Tempat ini terlihat megah dan gagah dari luar. Di dalamnya, ruangan begitu luas dengan langit-langit melengkung yang tinggi, meja dan perabotan dari kayu. Anda akan disambut gambar Ho Chi Minh yang sangat besar dengan jenggot khasnya itu. Menariknya lagi, di dalam gedung terdapat dua peta besar dari abad ke-18 yang saling berhadapan. Saat masuk, sensasinya berasa sedang berada di stasiun kereta api yang sudah sangat tua. Seperti di film-film Harry Potter. Dan gue juga sempat disangka Daniel Radcliffe (enak aja nuduh-nuduh).
 
Disini, anda bisa sekalian mendapatkan souvenir khas Vietnam. Ada kios yang menyediakan cinderamata di pojok ruangan. Menurut para pelancong yang lain, harganya lebih murah daripada yang dijual di Ben Tanh Market. Gue sih gak peduli, boro-boro beli souvenir, buat makan aja mikir-mikir! Souvenir yang gue bawa pulang ke Tanah Air cuman cerita melalui dokumentasi yang direkam dengan Handycam.

Duong Van Ngo (82 Tahun)
Satu hal yang unik dan bernilai historis, anda bisa bertemu dengan Duong Van Ngo, penulis surat terakhir di Ho Chi Minh City yang berada di meja Information and Writing Assistance. Selama beberapa dekade belakangan, Pria 82 tahun ini telah menterjemahkan surat berbahasa Vietnam ke dalam bahasa Inggris dan Prancis. Selain mahir dengan ketiga bahasa tersebut, Duong Van Ngo adalah pribadi yang hangat dan ramah terhadap turis darimanapun. Even, turis kere kayak gue. Beliau sangat suka mengobrol sambil menceritakan pengalaman hidupnya. Hingga sekarang, sepeda onthel masih menjadi kendaraan andalannya untuk pulang pergi Saigon Central Post Office - Rumah. Salut. Secara iseng gue bertanya tentang resep yang membuatnya sehat dan tetap kuat di usia senjanya. Sambil tertawa terkekeh, beliau menjawab : Pikiran positif, hati yang bersih, makan tepat waktu, banyak olahraga dan membantu orang lain. Bisa dibilang, Duong Van Ngo ini adalah seorang legenda hidup di Ho Chi Minh City. Salah satu saksi kunci sejarah darah-darah yang terampas demi kemerdekaan Vietnam. Beliau telah melalui era The Beatles, The Rolling Stones, Duran Duran, A-HA, NKOTB, BSB dan yang paling terbaru Lana Del Rey #apaseehhh!

Tidak lama kemudian, gue berpamitan kepada Paman Duong, hendak melanjutkan perjalanan. Ketika hampir sampai gerbang untuk keluar, beliau memanggil gue dengan suara tua khasnya ...

Paman Duong : “Nak!”

Seolah dengan adegan slow motion, gue terhenti dan menoleh ke arah pemilik suara. 

Paman Duong : “Jangan lupa coba Pho.” Pesannya sambil mengedipkan mata yang dibarengi senyuman antik.

Masih dalam adegan slow motion, gue menjawab dengan anggukan kepala ala Morgan Freeman lalu berbalik arah meneguhkan langkah. Sempat, dari sudut mata, gue melihat Paman Duong menatap haru ke arah gue yang pelan-pelan menghilang dari hadapannya sambil menggumamkan sesuatu yang kalau gue terjemahin berdasarkan gerak bibirnya adalah ucapan : "Hati-hati pemuda pemberani!". Heroik abeess!

Sesampainya di luar, gue tolah-toleh mencari Basir. Setelah mondar-mandir dengan penuh kepanikan, takut-takut kalau partner gue diculik, akhirnya, gue mendapatinya sedang menatap takjub sambil manggut-manggut mengagumi sebuah patung besar yang berada di samping gedung Saigon Central Post Office. 

Patung yang menggambarkan tentang patiotisme tersebut adalah sosok Stalin. Konon, situs ini sering digunakan sebagai perayaan kongres Uni Sovyet.

Gue menepuk pundak Basir dari belakang.

“Come on, Bro, kita lanjut jalan lagi.” 

Basir menunduk sebentar kemudian mengusap airmata yang tanpa dia sadari mengalir di pipinya *backsound :  ... di daun yang ikut mengalir lembut, terbawa sungai ke ujung mata ... “ #eaaa

“Okeh, Brroohh.” Jawabnya dengan suara gemetar menahan haru.

Huff!! Jalan kaki menikmati Ho Chi Minh City memang mengasikkan. Apalagi didukung dengan jalur pedestrian yang lebar, rapih, bersih, nyaman dan aman. Hampir jarang menemukan orang yang sedang merokok.

To Be Continued ...

Sabtu, 08 Desember 2012

Jalan Kaki Keliling Ho Chi Minh City #PartThree



Partner In Crime : Andri Husein a.k.a. Basir

Mendapati kamera tidak berfungsi dengan baik, membuat gue panik dan stress sendiri. Tanpa dokumentasi foto, perjalanan yang sedang gue emban akan dianggap hoax. Gue bisa dituduh sebagai penipu, mengada-ada, mendongeng khayal di siangbolong. Akhirnya tidak ada lagi orang yang mau kenal sama gue. Teman-teman bakal ninggalin gue. Sedih. Terbayang bakal jadi orang paling kesepian di dunia.

Gue limbung. Linglung. Gak tau lagi harus berbuat apa. Emang, gue juga bawa handycam. Tapi tetap aja dokumentasi foto itu penting. Terutama buat narsis-narsisan di Facebook (Adi Ankafia) dan Twitter (Follow @adiankafia).

Kami terus berjalan ke arah timur menelusuri jalan Nguyen Du dalam kondisi saling diam. Gue terus saja mengutuki kamera yang rusak. Basir terlihat geram sekali mendapati gue seperti putus asa dan hilang harapan.

Tiba-tiba Basir mencengkeram kerah jaket gue kemudian menghempaskan gue ke tembok salah satu kios yang ada di sepanjang jalan Nguyen Du.

“Tatap gue, Di!” Bentaknya. Gue tetap menunduk lunglai lalu merosot dinding terduduk lemas.

“Perjalanan kita masih panjang! Ini baru awal dan lu gak boleh menyerah hanya gara-gara kamera busuk ini rusak!” Celotehnya lagi. Gue tetap terdiam dengan pandangan kosong ke arah jalan. Motor berlalulalang tak beraturan. Suara klakson bersahut-sahutan seperti masih menyambut tahun baru yang sudah beberapa hari berlalu. Di tengah keriuhan tersebut, hati gue terasa hampa. Gue rapuh. Pikiran melayang ke mantan kekasih. Sedang apa dia ya? Sama siapa? Pacarnya sekarang se-keren gue gak? Atau jangan-jangan dia balikan lagi sama mantannya dulu yang Berkumis Nyuprus Ala Duta Sheila On Semprul Kelindes Truck Kontainer Bermuatan 8000 Kali Massa Planet Jupiter, trus, obat cacingnya udah habis apa belum? Ah, sudahlah, hidup emang terus berjalan. Tawa dan sedih hanya sebuah ekspresi. Kekhawatiran dan simpati berlebih tidak akan membuat diri ini keluar dari labirin masalalu yang rumit dan menyesatkan.

“Lu gak usah khawatir, kalau untuk dokumentasi foto kita bisa mengandalkan hape Nokia gue.” Lanjut Basir mencoba menenangkan gue walau masih dengan intonasi suara yang agak keras. Mungkin, maksud dia untuk melecut kembali semangat gue yang sedang runtuh.

Basir menarik tangan gue untuk berdiri dan segera melanjutkan seightseeing lagi. Dengan agak malas gue mengikuti langkah Basir dari belakang. Sekira jarak kami sudah sekitar tujuh meteran, Basir berhenti, menoleh ke belakang dan meneriaki gue : 

“Woi! ADI ANKAFIA! Lu di depan! Lu kan yang tau jalan! Secara lu itu anak GEOGRAPHIC INFORMATION SYSTEM yang berlangganan majalah NATIONAL GEOGRAPHIC TRAVELER!” 

Hah! Gue terkesiap. Seperti terbangun dari mimpi buruk melelahkan. Bener juga kata Basir. Bener banget malah, batin gue.

Kami terhenti di perempatan jalan antara Nguyen Du, Hai Ba Trung, dan Ly Tu Trong.

“Di, sebaiknya kita ke arah mana?” Tanya Basir.

Gue terdiam lalu memejamkan mata, menarik nafas dalam-dalam, menghirup udara Ho Chi Minh City, meresapinya. Bau khas masakan dari kedai-kedai makan ala Vietnam menyeruak tajam menyusupi hidung, merasuki nadi-nadi gue, mengaliri darah menuju hingga ke otak.

“Hufff! Feeling gue, sih, kita belok kiri aja. Ke arah utara.” Jawab gue penuh percaya diri. Basir menepuk-nepuk pundak gue sambil tersenyum.

“Lu emang mirip Johnny Depp.” Sambung Basir lempang. Orang-orang yang berseliweran di sekitar kami langsung batuk-batuk.

“Ehm! Sir, Zodiac gue dan Johnny Depp sama-sama Gemini.” Info tambahan dari gue. Cool.

Gaya bangunan di sepanjang jalan raya Hai Ba Trung mengingatkan gue tentang Aceh. Pada umumnya berlantai dua hingga tiga. Lantai paling bawah untuk usaha, lantai dua sebagai tempat tinggal, dan lantai tiga (jika ada) sebagai gudang atau kadang disewakan semacam kost-kost-an gitu.

Masih sama, di trotoar jalan Hai Ba Trung juga banyak terdapat penjaja street food dengan dingklik-dingklik plastik kecil. Orang-orang tampak asik menikmati kopi atau sarapan pho atau nasi dengan lauk daging babi. Sepertinya ini sudah menjadi salah satu budaya/tradisi sekaligus daya tarik Vietnam dari ujung selatan (Ho Chi Minh City) hingga ujung utara (Hanoi).

Namun, lebih dari itu, yang membuat excited adalah, tak dinyana, kami telah berada di depan Central Post Office Ho Chi Minh City yang arsitekturnya kental akan nuansa eropa, terutama Prancis.

“Oh, my GOD!” gumam gue lirih terkagum-kagum. “Sir, buruan foto gue pake hape Nokia lu!” Gue segera mengambil posisi tepat di tengah di bawah jam dindingnya yang terlihat elegan. Gak kebayang, didukung wajah gue yang photogenic, hasilnya pasti bakal fenomenal. Akan banyak majalah-majalah yang berebutan memajang foto gue sebagai cover demi mendongkrak penjualan.

Basir tidak segera mengambil pose gue yang udah oke banget. Dia malah cengangas cengenges gak jelas.

“Ayo! Buruan, Sir!, ntar kita gantian.” Teriak gue lagi gak sabar.

“hehehehe... sebenarnya hape gue baterainya udah habis sejak semalam, belum gue cas.” Ujar Basir sambil cengar-cengir tanpa dosa.

Gue : *tepok Jidat

To Be Continued ...

Minggu, 25 November 2012

Jalan Kaki Keliling Ho Chi Minh City #PartTwo



Konon, Independence Palace atau yang sekarang lebih dikenal sebagai Reunification Palace dibangun dalam waktu satu malam dengan bantuan 1000 jin... umm... itu cerita tentang Sangkuriang, ding. 

Gak, gini, Reunification Palace dirancang oleh seorang arsitek bernama Ngo Viet Kam sebagai rumah dan tempat kerja Presiden Vietnam Selatan selama Perang Vietnam dan tempat penyerahan kekuasaan resmi selama kejatuhan Saigon (Ho Chi Minh City) pada tanggal 30 April 1975.

Ngo Viet Kam adalah seorang arsitek pemenang penghargaan arsitektur bergengsi di Roma-Italia. Pada tahun 1962, Presiden Ngo Dinh Diem (pemimpin Vietnam Selatan saat itu) memintanya merancang Reunification Palace untuk menggantikan bangunan lama Norodom Palace (Indochina Governor Palace) buatan Prancis yang hancur terkena serangan bom. Secara jenius, Ngo Viet Kam mengawinkan arsitektur modern dengan tradisional oriental. 

Ketika pembangunan Reunification Palace baru berjalan setahun, Presiden Ngo Dinh Diem tewas dalam insiden kudeta. Nguyen Van Thieu didapuk sebagai pemimpin Vietnam Selatan menggantikan Ngo Dinh Diem. Dia mengikuti pembagunan sampai selesai dengan total waktu tiga tahun dan menjadi penghuni Reunification Palace yang terakhir. Namun, dua tank pasukan Vietnam Utara yang dipimpin Presiden Ho Chi Minh berhasil mendobrak pintu istana dan mendudukinya. Nguyen Van Thieu kabur menggunakan helikopter.

Perang dingin yang berlangsung selama 1957 – 1975 (18 tahun) antara Vietnam Selatan (Republik Vietnam) yang didukung Amerika Serikat dan Vietnam Utara (Republik Demokratik Vietnam) yang didukung USSR dan Tiongkok itu memang banyak dijadikan sumber inspirasi dalam dunia perfilman Amerika. Salah satu contohnya: Rambo IV, yang dibintangi oleh Sylvester Stallone.

Kini, Reunification Palace menjadi landmark dari kota Ho Chi Minh City. Letaknya sangat strategis. Berada diantara empat jalan kota, yaitu: Nguyen Thi Min Khai di sebelah utara, Nam Ky Khoi Nga di sebelah timur, Nguyen Du di sebelah selatan, dan Huyen Tran Cong Chue di sebelah barat. Berdasarkan informasi dari penjaganya, luasnya mencapai 12 Hektar. Di dalamnya terdapat ruang pertemuan, ruang peta, ruang perpustakaan, mini teater, dan masih banyak lagi. Mempunyai sekitar 7 lantai. Uniknya, istana ini tidak ber-AC, juga tidak ada eskalator atau liftnya. Lumayanlah kalau sekedar ingin membakar kalori. 

Puas memandangi Reunification Palace bersama getir sejarah yang menaunginya, kami melangkahkan kaki kembali menuju ke arah timur di sepanjang jalan Nguyen Du. Sepintas kultur masyarakat Ho Chi Minh sangat menyukai masakan dengan bumbu kayu manis yang pekat. Sangat kentara dari aroma yang tercium tiap kali kami melintasi rumah makan atau orang yang sedang makan di pinggir jalan. Gue tertarik untuk mengabadikan momen-momen secara spontan. Lebih natural. Tapi, alangkah kagetnya, hasil jepretan gue seperti terbakar. Hanya ada warna putih. Gue coba lagi. Hasilnya sama. Usut punya usut, ternyata bukaan diafragmanya rusak. Jadinya gak bisa memfilter dan mengatur cahaya yang masuk sesuai kebutuhan. Duh! Mampus!. Gimana ini?!

To Be Continue ...

Sabtu, 17 November 2012

Jalan Kaki Keliling Ho Chi Minh City #PartOne



Nyesek adalah:  ketika pulang kerja pengen nonton, ternyata dimana-mana lagi booming muterin Breaking Down Part II, trus pas balik arah mau makan di food court ketemu serombongan cowok-cewek dengan make up dipucat-pucatin ala vampire. Dooorrr! Mampus!

Pertama kali gue iseng baca novel Twilight karya Stephenie Meyer di Gramedia Books Store Botani Square Bogor, baru prolognya aja (dan gak selesai) udah langsung gue lempar. Namun sialnya pada saat sekuel kedua (New Moon) dan ketiga (Eclipse) diputar di bioskop, gue terbawa keharusan menemani pacar nonton film-film tersebut. Gue gak nangkep. Gue gak ngerti. Dan gue makin bingung kenapa film semembosankan itu bisa sold out. Yah! Gue gak bisa menyalahkan siapa-siapa karena sudah menjadi hak masing-masing untuk menyukai apa. Mungkin gue emang beda dengan mereka (para penggila Twilight Saga).

Dan anehnya lagi. Ini menurut gue. Film-film lain yang dibintangi oleh aktor/aktris utama di seri Twilight juga tidak kalah membosankan. Gue sampai mengklasifikasikan si Robert Pattinson sebagai aktor spesialis film-film datar nan membosankan. Satu contoh kasus di luar seri Twilight, yaitu Remember Me.

Tapi, ya udahlah, dan sebelum tulisan ini menjadi semacam review film penuh caci maki, mari kembali ke cerita utama. 

Pagi itu, 04 Januari 2012, tiket menuju Siem Reap – Cambodia telah kami dapatkan untuk pemberangkatan pukul 00.00 waktu setempat. Alasan kami memilih jadwal tersebut tentunya untuk menghemat biaya penginapan. Biasalah kalo gembel, mah. Karyawan Friends Travel sangat ramah. Mereka menyarankan kami untuk ikut tour sehari menuju obyek-obyek wisata perang di Ho Chi Minh City. Karena kami tidak tertarik, akhirnya salah seorang karyawan menghimbau (halah! kayak Presiden aja) kami untuk jalan-jalan keliling kota aja demi menghabiskan waktu sehari terakhir di Ho Chi Minh City. Sebelum melangkah, mereka menawarkan agar backpack kami ditinggalkan di agen travel. Kami sempat berprasangka yang tidak-tidak walaupun mereka menjamin keamanannya. Namun, setelah kami melihat ada banyak backpack milik turis lain yang sebagian juga bakal satu bis menuju Siem Reap, kami baru percaya.

Sebenarnya harga tiket bis-bis dalam kota Ho Chi Minh City tidaklah mahal. Kisarannya 4000 VND (Rp.2000) sampai dengan 8000 VND-an (Rp. 4000). Sambil memegang map city dari agen travel, gue menatap Basir dan bertanya : “Sir, gimana kalo kita keliling kotanya JALAN KAKI aja, waktu yang kita punya cukup banyak, piye?”. Basir hanya mengulum senyum dengan ekspresi wajah yang men-ejawantah-kan sebuah jawaban retoris nan diplomatis : ‘Menurut, loh!’.

Beberapa dari sekian banyak hal menarik yang gue suka di Ho Chi Minh City adalah : trotoarnya luas-luas walaupun lalu lintas semrawut. Wanita-wanita langsing (tidak terkesan kurus) berkulit kuning langsat. Bangunan-bangunan peninggalan penjajah yang terawat dengan baik. Pemerintah setempat nampaknya sangat serius mengelola bidang pariwisata untuk meningkatkan pemasukan devisa.

Wisata itu tidak harus/tidak terbatas pada menyambangi obyek-obyek yang touristy. Yang banyak terpampang di brosur-brosur paket wisata dengan slogan-slogan khasnya. Menikmati dan mempelajari tata kota juga sangat menarik dan inspiratif. Di Ho Chi Minh City, gue, sama sekali tidak takut kesasar. Ya, walaupun bagi gue, kesasar itu bukan kesasar (salah jalan/salah arah), kesasar adalah berjodoh pada suatu tempat yang tidak kita pikirkan sebelumnya. Tapi, lebih dari itu, tata kota Ho Chi Minh City sangat mudah dipahami.

Imbas dari harga impor sepeda motor yang sangat murah, khususnya dari RRC, membuat jumlah sepeda motor membludak di jalan karena sebagian besar penduduk setempat mampu membeli, sehingga Ho Chi Minh City dapat pulak julukan Kota Sepeda Motor.

Kami terus berjalan menyusuri lorong-lorong diawali dari Pam Ngu Lao Street terus menuju utara melintasi Ben Tanh Market belok kiri ke Nguyen Trung Tuc. Tak disangka tak dinyana, di ujung jalan kami mendapati Independence Palace.

To Be Continue...