Minggu, 25 November 2012

Jalan Kaki Keliling Ho Chi Minh City #PartTwo



Konon, Independence Palace atau yang sekarang lebih dikenal sebagai Reunification Palace dibangun dalam waktu satu malam dengan bantuan 1000 jin... umm... itu cerita tentang Sangkuriang, ding. 

Gak, gini, Reunification Palace dirancang oleh seorang arsitek bernama Ngo Viet Kam sebagai rumah dan tempat kerja Presiden Vietnam Selatan selama Perang Vietnam dan tempat penyerahan kekuasaan resmi selama kejatuhan Saigon (Ho Chi Minh City) pada tanggal 30 April 1975.

Ngo Viet Kam adalah seorang arsitek pemenang penghargaan arsitektur bergengsi di Roma-Italia. Pada tahun 1962, Presiden Ngo Dinh Diem (pemimpin Vietnam Selatan saat itu) memintanya merancang Reunification Palace untuk menggantikan bangunan lama Norodom Palace (Indochina Governor Palace) buatan Prancis yang hancur terkena serangan bom. Secara jenius, Ngo Viet Kam mengawinkan arsitektur modern dengan tradisional oriental. 

Ketika pembangunan Reunification Palace baru berjalan setahun, Presiden Ngo Dinh Diem tewas dalam insiden kudeta. Nguyen Van Thieu didapuk sebagai pemimpin Vietnam Selatan menggantikan Ngo Dinh Diem. Dia mengikuti pembagunan sampai selesai dengan total waktu tiga tahun dan menjadi penghuni Reunification Palace yang terakhir. Namun, dua tank pasukan Vietnam Utara yang dipimpin Presiden Ho Chi Minh berhasil mendobrak pintu istana dan mendudukinya. Nguyen Van Thieu kabur menggunakan helikopter.

Perang dingin yang berlangsung selama 1957 – 1975 (18 tahun) antara Vietnam Selatan (Republik Vietnam) yang didukung Amerika Serikat dan Vietnam Utara (Republik Demokratik Vietnam) yang didukung USSR dan Tiongkok itu memang banyak dijadikan sumber inspirasi dalam dunia perfilman Amerika. Salah satu contohnya: Rambo IV, yang dibintangi oleh Sylvester Stallone.

Kini, Reunification Palace menjadi landmark dari kota Ho Chi Minh City. Letaknya sangat strategis. Berada diantara empat jalan kota, yaitu: Nguyen Thi Min Khai di sebelah utara, Nam Ky Khoi Nga di sebelah timur, Nguyen Du di sebelah selatan, dan Huyen Tran Cong Chue di sebelah barat. Berdasarkan informasi dari penjaganya, luasnya mencapai 12 Hektar. Di dalamnya terdapat ruang pertemuan, ruang peta, ruang perpustakaan, mini teater, dan masih banyak lagi. Mempunyai sekitar 7 lantai. Uniknya, istana ini tidak ber-AC, juga tidak ada eskalator atau liftnya. Lumayanlah kalau sekedar ingin membakar kalori. 

Puas memandangi Reunification Palace bersama getir sejarah yang menaunginya, kami melangkahkan kaki kembali menuju ke arah timur di sepanjang jalan Nguyen Du. Sepintas kultur masyarakat Ho Chi Minh sangat menyukai masakan dengan bumbu kayu manis yang pekat. Sangat kentara dari aroma yang tercium tiap kali kami melintasi rumah makan atau orang yang sedang makan di pinggir jalan. Gue tertarik untuk mengabadikan momen-momen secara spontan. Lebih natural. Tapi, alangkah kagetnya, hasil jepretan gue seperti terbakar. Hanya ada warna putih. Gue coba lagi. Hasilnya sama. Usut punya usut, ternyata bukaan diafragmanya rusak. Jadinya gak bisa memfilter dan mengatur cahaya yang masuk sesuai kebutuhan. Duh! Mampus!. Gimana ini?!

To Be Continue ...

Sabtu, 17 November 2012

Jalan Kaki Keliling Ho Chi Minh City #PartOne



Nyesek adalah:  ketika pulang kerja pengen nonton, ternyata dimana-mana lagi booming muterin Breaking Down Part II, trus pas balik arah mau makan di food court ketemu serombongan cowok-cewek dengan make up dipucat-pucatin ala vampire. Dooorrr! Mampus!

Pertama kali gue iseng baca novel Twilight karya Stephenie Meyer di Gramedia Books Store Botani Square Bogor, baru prolognya aja (dan gak selesai) udah langsung gue lempar. Namun sialnya pada saat sekuel kedua (New Moon) dan ketiga (Eclipse) diputar di bioskop, gue terbawa keharusan menemani pacar nonton film-film tersebut. Gue gak nangkep. Gue gak ngerti. Dan gue makin bingung kenapa film semembosankan itu bisa sold out. Yah! Gue gak bisa menyalahkan siapa-siapa karena sudah menjadi hak masing-masing untuk menyukai apa. Mungkin gue emang beda dengan mereka (para penggila Twilight Saga).

Dan anehnya lagi. Ini menurut gue. Film-film lain yang dibintangi oleh aktor/aktris utama di seri Twilight juga tidak kalah membosankan. Gue sampai mengklasifikasikan si Robert Pattinson sebagai aktor spesialis film-film datar nan membosankan. Satu contoh kasus di luar seri Twilight, yaitu Remember Me.

Tapi, ya udahlah, dan sebelum tulisan ini menjadi semacam review film penuh caci maki, mari kembali ke cerita utama. 

Pagi itu, 04 Januari 2012, tiket menuju Siem Reap – Cambodia telah kami dapatkan untuk pemberangkatan pukul 00.00 waktu setempat. Alasan kami memilih jadwal tersebut tentunya untuk menghemat biaya penginapan. Biasalah kalo gembel, mah. Karyawan Friends Travel sangat ramah. Mereka menyarankan kami untuk ikut tour sehari menuju obyek-obyek wisata perang di Ho Chi Minh City. Karena kami tidak tertarik, akhirnya salah seorang karyawan menghimbau (halah! kayak Presiden aja) kami untuk jalan-jalan keliling kota aja demi menghabiskan waktu sehari terakhir di Ho Chi Minh City. Sebelum melangkah, mereka menawarkan agar backpack kami ditinggalkan di agen travel. Kami sempat berprasangka yang tidak-tidak walaupun mereka menjamin keamanannya. Namun, setelah kami melihat ada banyak backpack milik turis lain yang sebagian juga bakal satu bis menuju Siem Reap, kami baru percaya.

Sebenarnya harga tiket bis-bis dalam kota Ho Chi Minh City tidaklah mahal. Kisarannya 4000 VND (Rp.2000) sampai dengan 8000 VND-an (Rp. 4000). Sambil memegang map city dari agen travel, gue menatap Basir dan bertanya : “Sir, gimana kalo kita keliling kotanya JALAN KAKI aja, waktu yang kita punya cukup banyak, piye?”. Basir hanya mengulum senyum dengan ekspresi wajah yang men-ejawantah-kan sebuah jawaban retoris nan diplomatis : ‘Menurut, loh!’.

Beberapa dari sekian banyak hal menarik yang gue suka di Ho Chi Minh City adalah : trotoarnya luas-luas walaupun lalu lintas semrawut. Wanita-wanita langsing (tidak terkesan kurus) berkulit kuning langsat. Bangunan-bangunan peninggalan penjajah yang terawat dengan baik. Pemerintah setempat nampaknya sangat serius mengelola bidang pariwisata untuk meningkatkan pemasukan devisa.

Wisata itu tidak harus/tidak terbatas pada menyambangi obyek-obyek yang touristy. Yang banyak terpampang di brosur-brosur paket wisata dengan slogan-slogan khasnya. Menikmati dan mempelajari tata kota juga sangat menarik dan inspiratif. Di Ho Chi Minh City, gue, sama sekali tidak takut kesasar. Ya, walaupun bagi gue, kesasar itu bukan kesasar (salah jalan/salah arah), kesasar adalah berjodoh pada suatu tempat yang tidak kita pikirkan sebelumnya. Tapi, lebih dari itu, tata kota Ho Chi Minh City sangat mudah dipahami.

Imbas dari harga impor sepeda motor yang sangat murah, khususnya dari RRC, membuat jumlah sepeda motor membludak di jalan karena sebagian besar penduduk setempat mampu membeli, sehingga Ho Chi Minh City dapat pulak julukan Kota Sepeda Motor.

Kami terus berjalan menyusuri lorong-lorong diawali dari Pam Ngu Lao Street terus menuju utara melintasi Ben Tanh Market belok kiri ke Nguyen Trung Tuc. Tak disangka tak dinyana, di ujung jalan kami mendapati Independence Palace.

To Be Continue...

Sabtu, 10 November 2012

Pam Ngu Lao Street Setelah Sarapan




Letak Pam Ngu Lao Street tepat berada di sebelah barat 23/9 Park, tempat kami menuntaskan sarapan ala kadarnya namun penuh berkah karena dibarengi keikhlasan menerima keadaan. Berada di kawasan yang terkenal sebagai tempat bertemunya para backpacker dari seluruh penjuru dunia di Ho Chi Minh City, membuat kekhawatiran kami sedikit mereda. Kami jadi lebih leluasa bertanya sesuatu kepada sesama backpacker.

Setelah berunding sejenak, kami memutuskan membeli dulu tiket bis menuju Siem Reap – Cambodia untuk pemberangkatan pukul 00.00 Waktu Ho Chi Minh City (tidak ada perbedaan dengan WIB). Jadi kami masih punya waktu seharian penuh mengelilingi kota kecil ini.

Seorang teman di Jakarta, cewek, mungil, manis, dan gue pernah merasa fallin love, tapi sekarang dia sudah sama cowok lain yang seratus kali lipat lebih baik dari gue [#ngenesmampus] pernah menyarankan sebuah biro travel bernama Vietnasea. Harga yang ditawarkan dari Ho Chi Minh City (Vietnam) ke Siem Reap (Cambodia) adalah 19 Dollar. Tidak mahal sebenarnya apalagi pelayannya langsing-langsing berkulit kuning langsat berwajah oriental. Hanya saja kami masih penasaran untuk mencari harga yang lebih murah lagi. Beberapa biro travel kami jajal. Rata-rata memberi harga yang sama. Namun ada juga yang lebih tinggi sampai 23 Dollar. 

Bersyukur, ditengah pencarian tersebut, kami menemukan satu biro travel bernama Friends Tourist. Masih berada di sekitar Pam Ngu Lao Street, terdapat plang besar di depan bertuliskan : CÔNG TY TNHH DU LCH BNG HU, gue mengira artinya semacam semboyan khas biro travel, seperti : Melayani Yang Terbaik atau Anda Puas – Saya lebih Puas atau semacamnya. Kami memperoleh harga terbaik, yaitu 18 Dollar. Lumayan hemat 1 Dollar sampai 5 Dollar.

To Be Continued...