Pukul enam seperempat pagi, gue
terbangun karena raungan mesin pengepel lantai bandara yang dijalankan oleh
salah seorang cleaning service. Tingkat kebisingannya menyamai alat penyemprot
nyamuk demam berdarah di perumahan-perumahan yang banyak dihuni ibu-ibu muda usia 32 s.d. 38 tahunan yang masih tetap cantik (tanpa make up berlebih) dan sexy (apalagi kalau pake daster atau rok panjang) meski sudah punya tiga anak. Setelah menyelesaikan ritual cuci muka plus gosok gigi, gue
dan Basir segera menuju halte pemberhentian bis nomor 152 jurusan Ben Tanh
Market yang terletak persis di seberang pintu kedatangan Tan Son Nhat
International Airport.
Sejatinya, harga tiket bis dari bandara sampai tujuan akhir Ben Tanh Market hanya 4000 VND (Rp. 2000) per orang. Tapi entah diakali atau bagaimana, backpack kami juga dihitung layaknya penumpang. Jadinya total dua kepala ditambah dua backpack bayar 20000 VND (Rp. 10000). Ya udahlah, gak masalah, daripada ribut. Toh juga gak terlalu mahal. Kecuali kalau sang sopir juga menginginkan keperjakaan kami. Ceritanya bakal lain.
Sejatinya, harga tiket bis dari bandara sampai tujuan akhir Ben Tanh Market hanya 4000 VND (Rp. 2000) per orang. Tapi entah diakali atau bagaimana, backpack kami juga dihitung layaknya penumpang. Jadinya total dua kepala ditambah dua backpack bayar 20000 VND (Rp. 10000). Ya udahlah, gak masalah, daripada ribut. Toh juga gak terlalu mahal. Kecuali kalau sang sopir juga menginginkan keperjakaan kami. Ceritanya bakal lain.
Geliat Ho Chi Minh City mulai
terlihat. Motor-motor tumpah ruah bak serangga sedang mencari mangsa. Lalu
lintas begitu semrawut. Orkestrasi klakson memekakkan telinga. Di dalam bis, disamping
tempat duduk gue, seorang pemuda lokal membuka perbincangan. Dia bertanya
mengenai tujuan kami dan menawarkan diri sebagai guide. Gue menolak secara
halus dengan alasan sudah ada teman yang menjemput dan bakal menemani keliling Ho
Chi Minh City. Pemuda tersebut masih bersikeras namun gue tidak menggubrisnya. Merasa usahanya bertepuk sebelah tangan, tak
lama kemudian dia turun di salah satu sudut jalan. “Have a nice trip, take care
your belongings” pesannya sebelum turun. “Thanks” jawab gue singkat.
Lima belas menit kemudian, kami
telah menginjakkan kaki di terminal Ben Tanh Market. Rasanya amazing banget. Seolah
dengan adegan slow motion, gue dan Basir berjalan keluar terminal melewati
keriuhan para tukang ojek yang menawarkan jasa serta penjaja makanan ala kaki
lima. Persis seperti videoklip Truly Madly Deeply-nya Savage Garden. Basir sebagai Darren Hayes sedangkan gue Daniel Jones (maksa). Sejenak
kami menikmati hiruk pikuk pagi pertama di sisi bundaran Truong Tran Nguyen Han
- Ho Chi Minh City. Speechless.
Pas lagi asik foto-foto di depan area
23/9 Park, seberang terminal Ben Tanh, kami didatangi dua tukang becak yang
gencar menawarkan trip keliling kota menuju obyek-obyek wisata yang rata-rata
memamerkan rongsokan kendaraan peninggalan perang Vietnam. Gue dan Basir tidak
tertarik sama sekali. Secara harganya juga –yang pasti- bakalan dibohongi. Kami
menolak dan segera beranjak untuk mencari lokasi strategis buat sarapan. Lapar tak
terkira. Dari semalaman belum makan.
Di salah satu sudut dalam area
23/9 Park, Basir membuka backpacknya dan mengeluarkan bekal makanan yang sengaja
dibawa dari Indonesia. Pagi itu menu sarapan kami adalah : Roti Tawar Selai
Kacang Lapis Keju Cheddar Kraft Topping Gula Pasir A la Gembel Mbambung. Lumayan manis
dan cukup memberi energi.
To Be Continued .....
To Be Continued .....